Dari Coba-coba, Hidup Tak Berguna dan Kena HIV
Pengalaman selama tujuh tahun terjerat dalam ketergantungan narkoba, membuat Asep Hidayat sadar untuk kembali menikmati kehidupan yang normal. Seperti pecandu lain, semula ia hanya mencoba karena diajak temannya.
Namun, lama-kelamaan menjadi kecanduan hingga pada suatu kondisi dirinya merasakan kehidupannya sama sekali tak berguna. Bahkan, kehidupannya selama tujuh tahun (1995-2002) itu dirasakan sia-sia.
BAGI Asep, kondisi seperti itu tidak untuk disesali, tetapi dijadikan bahan pelajaran bahwa hidup tidak hanya berhenti pada satu kondisi. Ada kondisi lain bernama perubahan. Hidup sebelum menjadi pecandu adalah dunia normal.
Hidup saat jadi pecandu merupakan dunia gelap dan hidup setelah pulih adalah hidup lebih dari sekadar normal. Untuk itu, ia pun berbagi pengalaman saat diskusi di Warung 63, Jalan Veteran, Denpasar, Selasa (28/8).
Sebelum menjadi pecandu narkoba, cerita Asep, ia awalnya nongkrong dengan beberapa temannya di suatu tempat. Dari beberapa temannya itu, ada satu, dua yang sudah menjadi pengguna narkoba.
''Saya pertama kali mengonsumsi narkoba jenis heroin pada 1995. Sempat juga mengisap ganja. Awalnya, saya diajak teman. Kalau tidak mau, mereka tidak akan menerima sebagai kelompoknya,'' aku Asep.
Pria perwakilan dari Yayasan Dua Hati Bali ini menjelaskan, ketika itu faktor informasi sangat minim. Dengan strateginya, mereka menawarkan narkoba kepadanya dalam bentuk cairan dengan jarum suntik. Awalnya, mereka memberikannya secara gratis dan diajari bagaimana menggunakannya. ''Pertama kali mencoba seperti orang keracunan,'' akunya.
Setelah merasakan pertama, temannya terus memengaruhi dan mereka datang untuk menawarkan. Begitu rutin memakai barang haram itu, dia mengaku mulai merasakan sensasinya. Ia pun mulai menarik diri dari keluarga. ''Ketika ingin mencoba untuk berhenti, saya merasakan kesakitan. Apalagi jika kena air, rasanya seperti kesetrum. Makanya, pecandu itu jarang mandi,'' tuturnya.
Di tengah merasakan sakit itu, temannya kembali datang. Mereka pun mengatakan kalau ingin sembuh harus menggunakan heroin untuk menghilangkan rasa sakit itu. Saat itu, ia mulai membeli sendiri barang haram tersebut kepada pengedar. ''Karena tidak punya uang, maka terpaksa mencari sendiri. Pertama saya menjual gitar, kemudian jual sound system dan semua barang di rumah saya jual,'' terangnya.
Harga heroin waktu itu, lanjutnya, masih Rp 25 ribu. ''Begitu mendapat barang itu, hampir setiap dua jam saya memakainya dengan cara suntik. Bahkan, paling sedikit tiga kali sehari. Setelah semua barang habis, saya mulai bohong sama keluarga untuk bisa mendapatkan uang. Bahkan di sekolah, paling banyak masuk dua kali seminggu. Jadi, benar-benar hancur hidup saya waktu itu,'' ujarnya lirih.
Apalagi, lanjutnya, saat itu untuk mencari heroin itu sangat gampang, tidak seperti sekarang. Dalam perjalanan sebagai pencandu berat, ia sudah tidak memikirkan kehidupan. Ia hanya ingat dengan heroin.
Nah, pada 2002 ia mulai merasakan titik jenuh karena dicurangi oleh teman-temannya. ''Misalnya saya suruh teman beli barang, namun selalu dikurangi. Nah, saat itulah saya merasakan ada kejenuhan,'' ungkapnya.
Akhirnya, ia mempunyai keinginan untuk berhenti dan hanya diam selama seminggu di rumah. Saat diam itu, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Sakit itu dirasakan selama empat hari, bahkan sampai tidak tidur.
Tanpa diduga, ia kembali didatangi oleh temannya dan kembali memengaruhinya. ''Saya tersugesti lagi untuk memakai heroin. Akhirnya, jatuh lagi dan itu lebih parah karena semua keluarga dan pihak sekolah tahu,'' ceritanya.
Yang lebih parah lagi, ia diusir oleh orangtuanya dan hidup di jalanan selama enam bulan. Karena kehabisan akal untuk mencari uang, maka ia rela tinggal di rumah temannya dan menyapu rumahnya.
Temannya itu juga pengguna narkoba dan dia ''menempelnya'' hanya untuk mendapatkan barang setan tersebut. Berselang lama, ia pun bertekad untuk betul-betul berhenti karena terus memikirkan keluarga.
Akhirnya, ia meminta kepada orangtuanya untuk mencarikan pondok pesantren dan dia pun langsung dibawa ke pesantren di Jawa. ''Selama proses pemulihan itu, sakit yang saya rasakan sangat luar biasa. Setelah enam bulan di sana, saya diperbolehkan pulang dan meminta kepada orangtua untuk dicarikan kos. Maksudnya, biar saya jauh dari orang-orang yang memengaruhi saya dari narkoba itu. Akhirnya, saya berhenti total,'' ucapnya.
Meski berhenti, ia merasakan ada yang perlu harus diketahui lebih dalam. Ia melakukan check-up dan positif hepatitis dan HIV. Mengetahui hal itu, mentalnya kembali down. Namun, ia tetap bersemangat dan bergabung dengan komunitas orang-orang yang terjangkit penyakit yang sama. ''Di sana, kami sharing dan saling support. Akhirnya, saya berobat dan dinyatakan oleh dokter kalau saya sudah mendekati orang normal,'' terangnya.
Selanjutnya, ia menikah dengan seorang wanita pada 2004. Perempuan yang dinikahi itu mengetahui latar belakang Asep, namun syukurnya mau menerima kondisinya. ''Pertama kali saya kasi tahu, justru mertua saya yang menolak karena penyakit yang saya derita.
Syukurnya, mertua saya kemudian mau menerima dan akhirnya saya menikah serta mempunyai satu anak. Lebih bersyukur lagi, istri dan anak saya dinyatakan negatif HIV,'' uangkapnya dengan penuh syukur. (jay/nik)
source : Facebook/Balipost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar